Minggu, 13 Desember 2015

Hidupnya Para Pembaca dan Penulis Takdir


“Hari demi hari, selalu aku tunggu beberapa lantunan sajak Tuhan yang membuatku tetap memiliki apa yang seharusnya tak kumiliki. Dibawah lembayung senja yang memikat, aku menaruh senyum di penghujung hari tentang semua kelakar-kelakar hidup yang menyedihkan ini.”

Suatu hari aku memikirkan sesuatu tentang potensi kita sebagai subjek utama di muka bumi ini. Berhubungan dengan takdir yang sudah kita imani dan gejolaknya tak bisa kita tebak dan kita rasakan. Kita adalah bani adam yang terkata sempurna untuk semua makhluk tapi bukankah terlalu naïf jika kita mengatakan bahwa diri kita sendiri adalah makhluk yang sempurna? Kita hanyalah penganut takdir yang inti dari hidup kita sendiri akan hampa tanpa sebuah tekad dan tujuan. Tanpa tekad dan tujuan mungkin kita akan menjadi penyembah takdir dan segala yang sudah di tuliskan oleh-Nya.

Ya, aku cuma seorang yang menyebut diriku seorang Penulis yang hakikatnya semua yang kutulis adalah hal yang bisa kusebut hal yang produktif. Setiap hari aku tetap belajar untuk menulis biar itu dengan bulpen atau dengan jemari lentik menari diatas sebuah keyboard, aku menulis baik itu prosa maupun puisi yang kutulis dengan tekad dan suasana hatiku. Suatu hari gelombang pikiran dari otakku pernah memikirkan bahwa menulis itu pantas disebut sebagai pekerjaan, namun bukan pekerjaan yang hasilnya berujung pada rupiah-rupiah itu. Aku bukan pribadi pemikir seperti mereka yang menekuni sains, aku belajar yang semoga juga pada porsinya. Aku juga bukan anak yang dilahirkan dengan karunia kepintaran aku cuma orang biasa yang harapan dan cita-citaku bukan sukses tapi bisa membahagiakan dan menghidupi senyum-senyum orang lain. Begitu juga aku yakin diluar sana akan lebih banyak orang yang menyebut atau disebut Pembaca yang menikmati karya-karya tulisan setiap insan Penulis dari berbagi latar belakang.

Takdir adalah ketetapan-ketetapan Tuhan yang sudah tetap namun berbagai pemikiran manusia mengatakan takdir bisa dirubah dengan usaha bukan? Takdir adalah aksara nasib kita sebuah tulisan yang sudah diperuntukkan bagi kita yang paling indah juga paling adil menurut Sang Maha Sutradara.

Aku sendiri hanya seorang pemulung nasib dan lebih banyak menyerahkan nasibku pada yang Maha Kuasa. Aku berpikir bahwa Tuhan telah memberi kita kemampuan yang sepantasnya untuk menjalani terjalnya hidup dan kerasnya takdir-takdirNya yang tiap-tiap dari hurufnya adalah sebuah teka-teki dariNya.

Sekali lagi aku adalah seorang yang menyebut diriku Penulis entah pantas atau tidak menurutku bukan manusia sebagai individu yang menyebut diri mereka sempurna yang menilai tapi Tuhan lah yang pantas menilai kepantasan predikat seseorang.

Aku hanyalah seorang Penulis takdir! Ya, takdirku akan kutulis dengan goresan tekad dan huruf-huruf yang kuhasilkan dari hatiku. Aku akan menentukan bagaimana takdirku, begitu juga bagaimana nasibku sebagai pemulung nasib aku akan belajar bagaimana memilah sampah-sampah untaian Tuhan dan akan kutulis dengan aksara-aksara tekadku. Aku tak ingin jadi orang yang terbelenggu aku lah yang merasa bahwa nasibku tergantung olehku dan aku juga yang merasa bahwa dunia ini pantas kutulis dengan tulisanku. Aku pantas menentukan bagaimana harusnya duniaku bukan hanya sebagai pengikut takdir bak kerbau dicucuk hidung yang hanya bisa pasrah oleh ketentuan-ketentuanNya tanpa mengusahakan nasib yang lebih baik.

Diluar sana mungkin juga lebih banyak seorang Pembaca takdir, mereka adalah pembaca-pembaca setia nasib mereka sendiri. Lebih memilih mendayung searus daripada melawan arus adalah sesuatu yang menurut mereka lebih baik. Lebih mencintai apa yang orang katakan itu baik adalah pilihan utama daripada melakukan apa yang menurutnya lebih baik. Merekalah Pembaca takdir yang menatap ketetapan Tuhan dengan diam dan tersenyum. Tersenyum meski terasa pahit dan pedih sampai-sampai mereka sadar bahwa senyum adalah kelakar hidup yang paling menyedihkan. Pembaca akan selalu menelaah apa yang telah tertulis dari seorang Penulis, Pembaca pula akan selalu menjadi orang yang hanya mengikuti angin, kemana seharusnya dia terbang tanpa berusaha mencari nasib yang lebih baik.

Penulis akan selalu bisa membaca apa yang belum mereka baca, namun Pembaca tak selalu bisa menulis apa yang belum tertulis.

 Kawan, mari jadi para penulis takdir kita sendiri bukan para pembaca takdir saja yang lebih banyak mengikuti arus dan berakhir hanyut.

 Kawan, mari jadi pribadi yang gemar  menyuarakan apa yang kita senangi karena kesenangan kita bukan mengikuti apa kata orang namun tak pernah terdapat sebuah kesenangan di relung hati kita sendiri.

Semoga kita senantiasa menumbuhkan senyum untuk sesama.



7 komentar:

  1. haha seperti itulah. aku pun terobsesi sebagai pembaca jalanan yang menuliskan ceracau di setiap perjalanan. ceracau soal dunia, untuk mengerti tentunya.

    sering-sering gus... gak harus tulisan seng sekali duduk saja, atau tulisan saat ada momen, ceracauan gak penting pun bisa. tujuan e gawe ngeluwes no bahasa karo membuat kebiasaan. aku yo sek belajar istiqomah seminggu upload satu sampai dua tulisan, tapi urong iso hehe....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga mas ya, selalu berkembang hehe. Sukses mas.

      Hapus
  2. Balasan
    1. Cukup tersenyum mas. Sudah menjadi impian saya melihat anda semua tersnyum di gubuk kecil tulisan-tulisan ini.

      Hapus
  3. Nice gus, coba pake EYD gus biar lebih bisa dipahami . hehehehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masih belajar mas. Ya kedepan doakan lebih baik.

      Hapus