“Aku ingin
merintih, namun aku sadar bahwa rintihanku sudah tak bertepi. Tangisanku bak
hujan deras penghujung hari, aku linglung mau kemana kubawa semua ini. Aku
butuh payung yang paling teduh. Payung airmata.”
Hari itu sangat dingin, dingin dari suasana hati dan cuaca
kala itu, aku bingung harus berkata apa bagi dirimu yang beberapa malam kemarin
pergi dariku. Aku tak ingin menangisimu lagi namun apa daya tangisanku mungkin
sudah menyumur hingga aku tak pernah tahu kapan harus berhenti menangis. Malam-malam
selanjutnya kulalui dengan suasana haru, haru tak berkesudahan ketika hati ini
lebih memilih menunggumu kembali tapi apadaya kau tak jua kembali disini.
Satu malam setelah kau pergi aku mengingatmu dengan ingatan
paling runcing yang pernah kumiliki. Ya, serasa dirimu masih menghantui
tiap-tiap apa yang kulakukan. Aku duduk di kursi depan teras rumah, aku mengingatmu
menjemputku untuk mencari makan malam. Aku
berdiri di balkon, aku mengingatmu saat-saat kau memanggilku dari depan
gerbang. Semua gambaran-gambaran masih jelas tercetak di dalam otakku. Dirimu
namamu aromamu semua jelas, namun mulai malam itu aku berjanji pada diriku
sendiri untuk menghapus dirimu dari ingatanku.
Dua malam setelah kau pergi aku lebih memilih menghabiskan
waktu akan tidurku dengan memotivasi diriku sendiri. Aku berkata pada hatiku
bahwa cinta sejati akan selalu pulang cinta sejati juga tak selalu datang sekarang,
dengan berharap esok akan kutatap fajar dengan hati yang sumringah dan senang.
Esoknya hujan pun turun dan itu mengingatkanku dan membawaku
kembali pada peraduan kita berdua saat itu. Tuhan adalah Sang Maha Cinta yang
setiap saat bisa menghadirkan cinta darimana saja dan kapan saja. Cinta ibarat
gelembung, yang meletus dan hinggap pada
setiap insan yang digariskan menerima letusannya.
Setiap hujan akan selalu melahirkan pelangi dan dari terik
panas mentari akan selalu ada senja penghujung hari yang bisa kita nikmati. Aku
mungkin bersakit-sakit dahulu sekarang mungkin disakiti mungkin juga tersakiti,
namun aku yakin bahwa suatu hari dan suatu saat cinta akan selalu kembali pada
peraduannya.
Kemurungan-kemurungan tentangmu masih mengakar masih
meninggalkan jejak dan bekas meski aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk
melupakanmu tapi semua masih saja tetap sama. Kau masih hidup di dalam otak
ini. Hari itu hari yang mendung, mendung mengajarkanku bahwa kemurungan hanya
sesaat saja, kemurungan akan terlampiaskan oleh hujan entah itu hujan airmata
atau hujan jatuhnya rasa.
Hari-hari selanjutnya juga sama mendungnya dengan hari-hari
yang lalu. Kulalui dengan harapan yang sama yaitu melupakanmu. Hidupku mulai
terbiasa tanpamu dan ingatan-ingatanku tentangmu tapi tetap masih ada bercak di
hati ini. Hingga suatu saat aku lelah dengan semua ini aku memutuskan untuk
pergi menuju sebuah cafe tempat dimana kita pernah bertemu dahulu.
Semua tentang kita disini hanya lebih bisa membawaku kembali
padamu. Ditambah dengan segelas coklat panas yang menemaniku, aku merenung.
Diluar hujan, kata seorang temanku hujan adalah surat Tuhan yang dikirim via
air untuk menghadirkan kenangan. Renunganku tetap sama tentangmu dan semua
tentangmu.
Hingga coklat panasku hampir habis, aku memandang keluar memandang
rintik hujan yang jatuh dan jatuh tapi tak pernah bosan untuk jatuh lagi. Aku
sampai pada fikiran dan harapan kau ada disini, kau hadir disini duduk
disampingku dan membual tentang apa itu cinta dan kasih. Dengan saksi hujan aku
berdoa pada Sang Maha Cinta agar kau kembali pada cintamu sesegera mungkin.
Dan doaku terjawab kau datang diparkiran itu dengan mobilmu
memakai kemeja yang sama saat kau berada disini bersamaku dahulu, kau membuka
payung hujan berwarna biru dan kau berjalan ke pintu penumpang belakang. Ya,
sudah kuduga itu kekasih barumu bukan? Dan aku melihatnya dengan bola mata ini
dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi disini. Bola mata yang menangisimu
dan pikiran yang dihantui olehmu sekarang sedang bingung. Aku tetap melihatmu
dengan dia yang sedang memakai kaos panjang berwarna coklat itu, kau dengannya
berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dengan tempat dudukku. Aku merunduk
bingung dan tetap merenung.
Hingga pada saatnya kau mengarahkan pandanganmu ke arahku dan
kau terlihat biasa saja, tersenyum. Senyummu masih sama, hanya saja aku bingung
disana tersirat kebencian atau kasih sayang? Cinta apa sudah tak dirasa? Rindu
atau tidak? Entah aku tak tahu, aku memutuskan berjalan keluar dari café itu yang kuharapkan kau menyapaku sebelum aku
pergi dari sana. Namun kau tetap diam dan hanya melihatku, aku membuka payung
hujanku. Aku teguhkan hatiku sendiri.
Terbaik mas, coklat panas pun sampai dingin ketika membacanya.
BalasHapusMatur suwun mas Fahlevi. semoga menumbuhkan senyum sesama.
BalasHapusTerenyuh duh kah
BalasHapusI love it
BalasHapusI love it
BalasHapusSemoga menghidupi senyum orang lain.
Hapusmembacanya seakan me recall memori masa kelam yang sudah tertimbun oleh waktu
BalasHapusmembacanya seakan me recall memori masa kelam yang sudah tertimbun oleh waktu
BalasHapusTerimakasih mas hehe.
HapusSebuah senyuman mungkin bisa membuat coklatku panas lagi. Juooss gus
BalasHapusIya teman, terimakasih hehe. Semangat teross.
Hapusterhenyut sampek dunanges gan, mungkin sedikit humor bisa meredam tangisan untuk menambah senyuman :D , nice post
BalasHapusMenangis gan menangis karena menangis adalah ciri dari mereka yang kuat. Semoga tersenyum. Hehe.
BalasHapusSaya bangga dengan anda, Burhan.
BalasHapusSemoga mas willy bisa jadi lebih baik.
Hapus