Minggu, 13 Desember 2015

Payung Airmata



           “Aku ingin merintih, namun aku sadar bahwa rintihanku sudah tak bertepi. Tangisanku bak hujan deras penghujung hari, aku linglung mau kemana kubawa semua ini. Aku butuh payung yang paling teduh. Payung airmata.”

Hari itu sangat dingin, dingin dari suasana hati dan cuaca kala itu, aku bingung harus berkata apa bagi dirimu yang beberapa malam kemarin pergi dariku. Aku tak ingin menangisimu lagi namun apa daya tangisanku mungkin sudah menyumur hingga aku tak pernah tahu kapan harus berhenti menangis. Malam-malam selanjutnya kulalui dengan suasana haru, haru tak berkesudahan ketika hati ini lebih memilih menunggumu kembali tapi apadaya kau tak jua kembali disini. 

Satu malam setelah kau pergi aku mengingatmu dengan ingatan paling runcing yang pernah kumiliki. Ya, serasa dirimu masih menghantui tiap-tiap apa yang kulakukan. Aku duduk di kursi depan teras rumah, aku mengingatmu menjemputku untuk mencari makan malam. Aku  berdiri di balkon, aku mengingatmu saat-saat kau memanggilku dari depan gerbang. Semua gambaran-gambaran masih jelas tercetak di dalam otakku. Dirimu namamu aromamu semua jelas, namun mulai malam itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk menghapus dirimu dari ingatanku.

Dua malam setelah kau pergi aku lebih memilih menghabiskan waktu akan tidurku dengan memotivasi diriku sendiri. Aku berkata pada hatiku bahwa cinta sejati akan selalu pulang cinta sejati juga tak selalu datang sekarang, dengan berharap esok akan kutatap fajar dengan hati yang sumringah dan senang.

Esoknya hujan pun turun dan itu mengingatkanku dan membawaku kembali pada peraduan kita berdua saat itu. Tuhan adalah Sang Maha Cinta yang setiap saat bisa menghadirkan cinta darimana saja dan kapan saja. Cinta ibarat gelembung, yang meletus dan  hinggap pada setiap insan yang digariskan menerima letusannya.

Setiap hujan akan selalu melahirkan pelangi dan dari terik panas mentari akan selalu ada senja penghujung hari yang bisa kita nikmati. Aku mungkin bersakit-sakit dahulu sekarang mungkin disakiti mungkin juga tersakiti, namun aku yakin bahwa suatu hari dan suatu saat cinta akan selalu kembali pada peraduannya.

Kemurungan-kemurungan tentangmu masih mengakar masih meninggalkan jejak dan bekas meski aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk melupakanmu tapi semua masih saja tetap sama. Kau masih hidup di dalam otak ini. Hari itu hari yang mendung, mendung mengajarkanku bahwa kemurungan hanya sesaat saja, kemurungan akan terlampiaskan oleh hujan entah itu hujan airmata atau hujan jatuhnya rasa.

Hari-hari selanjutnya juga sama mendungnya dengan hari-hari yang lalu. Kulalui dengan harapan yang sama yaitu melupakanmu. Hidupku mulai terbiasa tanpamu dan ingatan-ingatanku tentangmu tapi tetap masih ada bercak di hati ini. Hingga suatu saat aku lelah dengan semua ini aku memutuskan untuk pergi menuju sebuah cafe tempat dimana kita pernah bertemu dahulu.

Semua tentang kita disini hanya lebih bisa membawaku kembali padamu. Ditambah dengan segelas coklat panas yang menemaniku, aku merenung. Diluar hujan, kata seorang temanku hujan adalah surat Tuhan yang dikirim via air untuk menghadirkan kenangan. Renunganku tetap sama tentangmu dan semua tentangmu.

Hingga coklat panasku hampir habis, aku memandang keluar memandang rintik hujan yang jatuh dan jatuh tapi tak pernah bosan untuk jatuh lagi. Aku sampai pada fikiran dan harapan kau ada disini, kau hadir disini duduk disampingku dan membual tentang apa itu cinta dan kasih. Dengan saksi hujan aku berdoa pada Sang Maha Cinta agar kau kembali pada cintamu sesegera mungkin.

Dan doaku terjawab kau datang diparkiran itu dengan mobilmu memakai kemeja yang sama saat kau berada disini bersamaku dahulu, kau membuka payung hujan berwarna biru dan kau berjalan ke pintu penumpang belakang. Ya, sudah kuduga itu kekasih barumu bukan? Dan aku melihatnya dengan bola mata ini dan memikirkan apa yang sebenarnya terjadi disini. Bola mata yang menangisimu dan pikiran yang dihantui olehmu sekarang sedang bingung. Aku tetap melihatmu dengan dia yang sedang memakai kaos panjang berwarna coklat itu, kau dengannya berjalan menuju tempat duduk yang tak jauh dengan tempat dudukku. Aku merunduk bingung dan tetap merenung.

Hingga pada saatnya kau mengarahkan pandanganmu ke arahku dan kau terlihat biasa saja, tersenyum. Senyummu masih sama, hanya saja aku bingung disana tersirat kebencian atau kasih sayang? Cinta apa sudah tak dirasa? Rindu atau tidak? Entah aku tak tahu, aku memutuskan berjalan keluar dari café  itu yang kuharapkan kau menyapaku sebelum aku pergi dari sana. Namun kau tetap diam dan hanya melihatku, aku membuka payung hujanku. Aku teguhkan hatiku sendiri.

 

Cinta sudah kembali ke peraduannya. Kurasa apa yang aku butuhkan sekarang hanyalah payung airmata. Hujan menyeringai deras dan kurasa pipi dan airmataku adalah tempatku berteduh.

15 komentar:

  1. Terbaik mas, coklat panas pun sampai dingin ketika membacanya.

    BalasHapus
  2. Matur suwun mas Fahlevi. semoga menumbuhkan senyum sesama.

    BalasHapus
  3. membacanya seakan me recall memori masa kelam yang sudah tertimbun oleh waktu

    BalasHapus
  4. membacanya seakan me recall memori masa kelam yang sudah tertimbun oleh waktu

    BalasHapus
  5. Sebuah senyuman mungkin bisa membuat coklatku panas lagi. Juooss gus

    BalasHapus
  6. terhenyut sampek dunanges gan, mungkin sedikit humor bisa meredam tangisan untuk menambah senyuman :D , nice post

    BalasHapus
  7. Menangis gan menangis karena menangis adalah ciri dari mereka yang kuat. Semoga tersenyum. Hehe.

    BalasHapus
  8. Saya bangga dengan anda, Burhan.

    BalasHapus